JAKARTA, ArmadaNews.id – Pilkada Serentak 2020 sudah sedang bergulir. Tentu tantangan paling serius untuk Pilkada tahun ini adalah Pandemi Covid-19 yang belum pasti kapan akan berakhir. Kelihatannya sampai hari H Pilkada digelar, Covid-19 masih tetap akan ada.
Demikian disampaikan Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI Indonesia), Jeirry Sumampow kepada ArmadaNews.id, Senin (20/07/2020).
Dikatakan Jeirry Sumampow, terkait dengan itu, rasanya perlu ditekankan beberapa hal.
Yakni, Meskipun sudah diputuskan digelar tahun 2020, tapi pertanyaan soal keselamatan masyarakat masih tetap menghantui. Jalan keluar terkait keselamatan warga ini masih terasa belum memadai. Penerapan protokol kesehatan Covid-19 secara ketat pun masih diragukan. Apalagi melihat fakta peningkatan jumlah tertular yang masih tinggi di berbagai daerah di Indonesia.
Jika soal ini tidak ditangani oleh penyelenggara pemilu, maka bisa dipastikan bahwa kekuatiran banyak kalangan tentang anjloknya partisipasi pemilih akan menjadi kenyataan yang pahit dalam Pilkada tahun ini.
“Saya melihat gejala bahwa Pilkada Serentak tahun ini akan mengalami penurunan kualitas. Fokus yang berlebihan terhadap Pandemi Covid-19 bisa saja membuat kita lupa atau abai tentang kualitas Pilkada,” kata Jeirry.
Coba saja lihat, dimana-mana semua perhatian ditujukan untuk Covid-19, akibatnya kita tak bicara banyak soal kualitas calon yang akan maju. Padahal ini tahapan pencalonan sedang berlangsung. Begitu juga, sekarang sedang berlangsung tahapan Coklit data pemilih. Seberapa besar perhatian kita terhadap kualitas data? Sebab yang ramai dibincangkan adalah soal protokol kesehatan Covid-19, baik bagi PPDP, petugas pengawas dan pemilih.
“Saya kuatir substansi data akan kurang baik oleh proses seperti yang kini berlangsung. Sebab, fobia Pandemi Covid-19 yang masif ini akan membuat kita tak fokus memikirkan peningkatan kualitas Pilkada ini,” sebut Jerry.
Lanjutnya, kelihatannya Penyelenggara Pemilu pun terjebak dalam situasi fobia Covid-19. Itu tercermin dari beberapa regulasi yang baru muncul. Sebutlah, PKPU No.6/2020. Didalamnya terlalu banyak mengatur soal Protokol Covid-19, sehingga itu jadi syarat utama berjalannya sebuah tahapan.
Bahkan jika protokol kesehatan itu tak dilakukan, sanksi bisa diberikan, baik kepada petugas maupun kepada pemilih.
Jadi penerapan protokol kesehatan Covid-19 yang begitu kaku, berpotensi mengakibatkan timpangnya tahapan. Bisa membuat tahapan tidak berjalan secara utuh dan sempurna.
Penyelenggara perlu mengubah pola dan metode. Saya kira, pola membangun mekanisme pengamanan Covid-19 secara top down terasa tak terlalu efektif.
Membangun pemahaman bahwa Penyelenggara Pemilu mampu menjamin keselamatan warga pilih, tak akan membuat masyarakat yakin. Sebab Penyelenggara Pemilu bukan lembaga yang kompeten di bidang itu. Karena itu, lebih baik urusan itu diserahkan kepada pihak yang punya kompetensi agar bisa lebih membuat masyarakat yakin. Jadi polanya harus bermitra dengan lembaga lain yang punya kompetensi. Tinggal diatur batas-batas fungsinya agar tak terjadi masalah di lapangan.
Dalam kemitraan itu, yang harus menjadi fokus kerjaan adalah bagaimana membangun kemampuan rakyat untuk mengamankan dirinya sendiri. Jadi arahnya kepada penguatan kapasitas pemilih, tidak saja terkait dengan penggunaan alat-alat protokol kesehatan Covid-19, tapi yang lebih penting adalah bagaimana rakyat membangun imunitas dirinya sendiri. Sebab selama vaksin Covid-19 belum ditemukan, cara yang paling ampuh untuk melawannya adalah dengan meningkatkan imunitas tubuh.
Jadi perlu juga dipikirkan dan di fasilitasi upaya masyarakat di tengah masyarakat dalam rangka peningkatan imunitas tubuhnya. “Saya yakin, jika masyarakat sendiri merasa yakin dan aman karena tubuhnya dia yakin sehat, maka kekuatirannya akan makin kecil dan kepercayaan dirinya untuk berpartisipasi dalam Pilkada akan makin besar,” katanya.
Karena itu, maka program sosialisasi dan pendidikan pemilih oleh Penyelenggara Pemilu selama beberapa bulan ke depan perlu diarahkan untuk membangun kapasitas kesehatan masyarakat. Disamping itu pun, arah kampanye dan publikasi harus diarahkan untuk kepentingan itu. Jangan sampai terjebak dan terlena terus dalam pola lama yang tanpa disadari malah membangun trauma dan fobia pemilih terhadap Covid-19 ini. (AP)