SIANTAR, Armadanews.id | Ada banyak alasan bahwasanya bahasa dan agama memiliki keterhubungan yang unik dan menarik. Bahasa bukan saja menjadi alat ekspresi dan diseminasi doktrin keagamaan, melainkan juga menjadi salah satu simbol identitas keagamaan/paham teologis.
Sebaliknya, agama selain mewadahi ekspresi kebahasaan, juga turut mempengaruhi dinamika kebahasaan baik dari segi bentuk, konten, maupun fungsi bahasa, sehingga kita mengenal istilah bahasa laras keagamaan.
Dalam konteks ini pulalah kita mengenal bentuk dan gaya khas bahasa khotbah serta ceramah keagamaan. Fenomena ini tentu ditemukan pula pada agama lain dalam hubungannya dengan bahasa-bahasa tertentu.
Di sisi lain, kesamaan bahasa telah menjadi unsur perekat antar-pemeluk agama yang berbeda-beda. Di India, meskipun kerapkali berkonflik, bahasa Hindi telah menjadi salah satu jembatan penghubung para pemeluk Islam dan Hindu.
Seperti halnya juga di daerah Tapanuli, meskipun berbeda keyakinan, umat muslim di Selatan dan umat kristiani di Utara tetap hidup rukun dan damai.
Selain faktor etnisitas dan budaya, kesamaan bahasa (Batak) memainkan peran penting dalam melanggengkan ikatan sosial emosional kedua sub etnis yang berbeda keyakinan.
Yang lebih menarik adalah, ketika agama menyematkan status tertentu pada sebuah bahasa dengan melabelinya sebagai bahasa resmi, istimewa, bahkan sakral dan transenden.
Mengingat-sebagaimana disinggung di atas, isu-isu keagamaan bersifat sensitif, maka wacana religiusitas atau status bahasa dalam perspektif keagamaan biasanya tidak saja melibatkan logika dan rasionalitas, melainkan juga menggugah tensi emosi, spiritualitas, kepentingan, dan berbagai isu lain sehingga melahirkan beragam isu, perspektif, sikap, dan perilaku berbahasa.
Dalam realitas sosial, wacana religiusitas bahasa telah membangun pandangan sosial yang menempatkan variabel sikap/perilaku berbahasa sebagai salah satu indikator keberagamaan.
Pada tingkat yang lebih ekstrem, bahasa bahkan dianggap identik dengan agama. Orang boleh saja multilingual (berbahasa lebih dari satu), tetapi tak seorang pun boleh mengklaim dirinya sebagai orang yang multi religius (beragama lebih dari satu).
Oleh: Daniel Saputra Simanjuntak (Mahasiswa STT HKBP Pematang Siantar)