SIANTAR, ARMADANEWS.ID – Ada ungkapan peribahasa melayu yang menyebutkan umpama burung tumpang beramai dengan kawan banyak, setiap pekerjaan yang tidak dilakukan dengan kesungguhan, lebih baik tidak dilakukan sebab hanya menguras tenaga tanpa hasil yang maksimal dari hal tersebut. Ungkapan ini cocok bagi pembuat undang-undang menjelang pemilihan umum (pemilu) yang akan diselenggarakan pada tanggal, 24 Februari 2024.
Aturan pada Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum seakan tidak berdaya untuk mencegah dan memberantas praktik politik uang (money politic).
Padahal, hukum itu bersifat mengatur dan memaksa (dwingend recht en aanvullen recht) yang memberikan efek jera terhadap siapa yang tidak menaatinya. Namun, ibarat musim, politik uang ini selalu terjadi dan menjadi hal yang lumrah untuk dilakukan, meskipun UU Pemilu telah mengatur perbuatan sebagaimana dimaksud merupakan delik pidana. Pilkada serentak pada 2020 bisa dijadikan sebagai tolak ukur pelaksanaan UU Pemilu.
Penanganan pidana politik uang yang diproses oleh gakumdu dan pengadilan saat itu masih minim. Hal ini memperlihatkan betapa lemahnya penegakan hukum dalam kepemiluan yang bisa diperkuat lewat UU Kepemiluan.
Penguatan Bawaslu secara kelembagaan.
Secara kelembagaan, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mempunyai peranan penting untuk mengawasi jalannya penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil, dan mempunyai karakteristik unik yaitu berwenang memutus pelanggaran administratif pemilu sesuai pasal 461 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
Bawaslu bukan lembaga judicial tetapi mempunyai fungsi judicial atau disebut sebagai lembaga Quasi-Judicial. Hal mana yang tidak dimiliki lembaga ad-hoc seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, Bawaslu terkesan lemah dibandingkan dengan KPK dalam penegakan hukum, karena Bawaslu tidak mempunyai wewenang untuk melakukan penyidikan dan penuntutan seperti KPK. Padahal pemilu merupakan sarana demokrasi guna mewujudkan pemerintahan yang berkedaulatan rakyat yang mana prosesnya sangat memengaruhi iklim demokrasi suatu Negara termasuk menciptakan penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat kondisi korupsi Indonesia semakin mengkhawatirkan berdasarkan Laporan Hasil Pemantauan Tren Penindakan Kasus Korupsi Tahun 2022, disebutkan dalam laporan tersebut ada 21 Kepala Daerah dan 60 Anggota Legislatif yang terlibat dalam kasus korupsi.
Jabatan-jabatan ini diperoleh mereka melalui proses pemilu. Sedikit banyaknya, dampak proses pemilu yang berbiaya tinggi dan praktik politik uang tentunya memengaruhi mereka untuk melakukan korupsi.
Saat ini, penanganan pidana pemilu dikordinasikan dalam suatu sentra penegakan hukum terpadu (Sentra Gakkumdu) yang terdiri dari 3 (tiga) lembaga yaitu Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan sebagai forum koordinasi dalam menangani pelanggaran tindak pidana pemilu. Mengacu kepada sistem penanganan perkara pidana pemilu, Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota maupun Panwaslu Kecamatan berwenang “menyatakan” dugaan pelanggaran dugaan tindak pidana pemilu setelah berkordinasi dengan Kepolisian dan Kejaksaan dalam Gakkumdu sesuai pasal 476 UU Pemilu.
Kemudian, pengawas pemilu meneruskan laporan dugaan tindak pidana kepemiluan kepada kepolisian paling lama 1 x 24 jam sejak pengawas “menyatakan” bahwa perbuatan atau tindakan yang diduga tersebut merupakan tindak pidana pemilu.
Hal ini mengakibatkan penindakan pengawas pemilu terhadap praktik politik uang menjadi kurang maksimal dan mempunyai banyak kekurangan. Secara teori, praktik politik uang lebih mudah dibuktikan melalui proses tertangkap tangan, tetapi pengawas pemilu secara kelembagaan tidak berwenang untuk menangkap maupun menyita barang bukti seketika itu juga.
Pengawas pemilu ibarat harimau mengaum yang tidak ada taringnya, padahal pengawas pemilu memiliki struktur dari pusat sampai tingkat TPS diseluruh wilayah pemilihan, jika dihitung maka jumlah pengawas bisa melebihi jumlah anggota kepolisian disetiap daerah.
Dalam penanganan beberapa tindak pidana khusus, beberapa instansi, lembaga atau badan pemerintah diberikan kewenangan untuk melakukan penindakan melalui Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang berfungsi membantu polisi dalam menjalankan fungsi kepolisian misal PPNS Bea Cukai yang ada di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, PPNS Lingkungan Hidup yang ada di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. PPNS tersebut mempunyai kewenangan memanggil, memeriksa, menggeledah, menangkap, atau menahan seseorang yang disangka melakukan tindak pidana, penyitaan dan pemeriksaan lainnya seperti kewenangan penyidik kepolisian sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Pembuat undang-undang perlu mempertimbangkan hal ini untuk diterapkan dalam UU Kepemiluan, perlu dibentuk petugas PPNS bagi Bawaslu mengingat begitu besarnya peranan lembaga pengawas pemilu untuk menangani banyaknya jenis-jenis pelanggaran-pelanggaran pemilu yang terdiri dari 22 tindak pidana yang subyeknya setiap orang dan 55 tindak pidana yang subyeknya tertentu/tidak setiap orang (delik pidana propria) (KPU, Menjawab Problematika Hukum Dugaan Pelanggaran Administratif Pemilu Dan Sengketa Verifikasi Parpol Pemilu 2024, hal 38).
Jika ditelisik lebih jauh, proses penyidikan jenis-jenis pidana sebagaimana dimaksud tidak cukup hanya ditangani oleh penyidik kepolisian berdasarkan pola pelanggarannya, perlu pelimpahan kewenangan kepada Bawaslu agar pengawasan dan penindakan terlaksana secara optimal. Hal ini penting, sebagai solusi tepat untuk memperkuat Bawaslu untuk mewujudkan pemilu yang lebih bersih dan berintegritas.
Revisi ketentuan pidana.
Ada 3 (tiga) pasal yang mengatur pidana politik uang dalam UU Pemilu yaitu pasal 515, pasal 519 dan pasal 523. Secara teori, rumusan delik pada pasal 515, pasal 519 dan pasal 523 UU Pemilu menyisakan banyak kelemahan.
Pertama, pemidanaan politik uang hanya ditujukan kepada setiap orang, setiap pelaksana, peserta dan tim kampanye pemilu” yang menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya”. Pemilih yang menerima uang atau materi tersebut tidak dikenai sanksi pidana. UU menjadikan pemilih ibarat korban yang tidak perlu dihukum dalam suatu kejahatan. Konsep ini mengakibatkan semakin suburnya praktik uang. Banyak masyarakat tidak akan takut menerima uang dan memilih calon bukan karena visi dan misinya melainkan karena uang yang diterimanya. Maka, bukan rahasia umum lagi apabila pemilu selalu indentik dengan serangan fajar. Serangan fajar adalah istilah yang digunakan untuk menyebut bentuk politik uang dalam rangka membeli suara yang di lakukan oleh satu atau beberapa orang dengan menyasar kelompok masyarakat menengah ke bawah dan kerap terjadi menjelang hari
pemungutan suara dengan tujuan agar masyarakat memilih partai atau kader tertentu (Edward Aspinall dan Mada Sukmajati: 2015: 24).
Kedua, rumusan delik politik uang hampir menyerupai delik suap sebagaimana yang diatur dalam UU Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi (UU Tipikor), masing-masing terdapat unsur perbuatan menjanjikan atau memberi uang atau materi lainnya untuk “memengaruhi orang lain untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu”. Sifat kedua delik ini sama-sama merusak dalam tatanan bernegara. Bedanya, UU Tipikor mengkategorikan perbuatan tersebut sebagai kejahatan luar biasa atau extraordinary crime, sementara UU Pemilu tidak. Sehingga, penanganan pidana pidana politik uang dalam pemilu tidak serius, hal ini cukup terlihat dari sisi ancaman hukuman dan pola penindakannya. Dalam pemilu, bahaya politik uang hanya sebatas konsep yang sulit diberantas karena lemahnya aturan.
Revisi ketentuan pemungutan suara ulang.
Aturan kepemiluan pada pasal 285 dan pasal 286 UU Pemilu mengatur bahwa pasangan calon, calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota yang terbukti melakukan praktik politik uang dikenai sanksi administratif berupa pembatalan calon oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Terdapat 2 (dua) tata cara pembatalan, Pertama, pembatalan calon untuk anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota yang dilakukan setelah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Kedua, pembatalan calon untuk pasangan calon, calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, yang dilakukan setelah ada rekomendasi dari Bawaslu dan merupakan pelanggaran yang terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif.
Aturan ini bertentangan dengan asas pemilu yang jujur dan adil berdasarkan pasal 22 E ayat (1) UUD 1945, karena pelanggaran tersebut hanya berdampak secara administratif terhadap calon. Melitigimasi perolehan suara yang diperoleh dengan cara curang dalam pemilu mencederai rasa keadilan. Perbuatan sebagaimana dimaksud memengaruhi hasil pemilu dan menguntungkan partai tertentu. Oleh karenanya, suara yang diperoleh berdasarkan kecurangan harus dibatalkan dan tidak diperhitungkan kedalam jumlah suara calon atau jumlah suara partai politik yang mengusung, dan dilakukan pemungutan suara ulang berdasarkan ketentuan pasal 372 UU Pemilu.
Kesimpulan
Semenjak reformasi, UU Pemilu beberapa kali mengalami perubahan yaitu UU 3/1999, UU 12/2003, UU 22/2007, UU 15/2011 dan UU 7/2017. Perubahan-perubahan tersebut beberapa kali membuat kelembagaan Pemilu mengalami transformasi, namun UU menyisakan satu hal utama yang prioritas yaitu pembentukan PPNS Bawaslu dan merumuskan delik praktik politik uang sebagai kejahatan luar biasa, diluar dari itu, kita hanya bermimpi untuk menantikan pemilu yang bersih dari politik uang.
Oleh : Edi S Sihombing, S.H. (Advokat)